Bahagia Itu (Tidak) Sederhana

Sekitar kurang lebih dua minggu lalu, saya bertemu dengan adik angkatan yang luar biasa tidak bisa saya gambarkan dengan kata-kata. Sebuah pertemuan yang memang sudah saya setting dari jauh-jauh hari yang sempat batal hingga dua kali, hingga akhirnya kami dipertemukan oleh sebuah nikmat bernama kesempatan. Kami bersepakat bertemu di sebuah kedai susu, sebut saja Kalimilk *haha* di tengah derai hujan yang menghiasi suasana sore saat itu.

Saya terakhir kali bertemu dengannya sekitar bulan November 2014 di tempat yang saya pikir semua orang tak menginginkannya, yap, saya bertemu dengannya di RS Panti Rapih dan sekitar dua minggu lalu saat dia menyapa dan menyalami saya, sosoknya tidak banyak berubah. Dia tetap saja seorang yang saya kenal sebagai sosok yang penuh semangat, optimis, dan punya banyak proyek yang sedang dibangunnya. Dulu saya tidak begitu dekat dengannya, tapi semoga dengan sebuah semangat ‘kerja’ di masa sekarang hingga nanti, kami bisa sedekat segelas susu hangat dan genggaman tangan.

Pembicaraan mengalir begitu saja, hingga saat itu saya bergumam bahwa bahagia itu sederhana. Sesederhana rentang waktu yang lama dibasuh dengan sebuah pertemuan yang tak lama. Bahagia itu sederhana, sesederhana ketika saya sangat ingin bertemu dengan semua sahabat saya satu persatu dan mendengarkan setiap kisah mereka. Sangat sederhana bukan?

Bahagia yang terasa sederhana itu akhirnya saya sadari bahwa saat itu saya dalam sebuah keadaan yang menerima, menerima kenyataan yang sesuai dengan ekspektasi saya sekaligus berada di antara rasa syukur. Lalu bagaimana bisa bahagia itu tidak sederhana?

“Mbak, coba pegang deh tanganku!”

“Kok ada getarannya? Kaya ada mesinnya.”

Dia yang di depan saya lantas tersenyum dan berkata, “Iya Mbak, jadi pembuluh arteri dan vena disambung, di jantungku juga. Ada di tiga bagian.”

Obrolan kami berlanjut hingga di scene tertentu saya dibuat kaget dengan penyampaian cerita yang ringan namun begitu berat sampai di telinga saya.

“Ini bekas luka jarum sewaktu cuci darah, Mbak. Jarumnya kira-kira sebesar pulpen itu. Karena harus 2x dalam seminggu, luka bekas jarum sebelumnya belum sembuh udah harus ditusuk lagi. Kalau sekarang aku udah pasang selang di perut trus ada semacam kran gitu untuk cuci darah mandiri, sehari 2x.”

Di tengah rasa penasaran, saya akhirnya berani bertanya kekuatan macam apa yang membuatnya bisa sangat menerima dan tetap begitu bersemangat menjalani hari-hari dengan aktifitas yang tidak sedikit serta saya masih kagum mendapati dia berucap “Aku bersyukur, Mbak. Teman-temanku dengan kondisi HB yang rendah kaya aku mereka harus transfusi. Mereka udah gak pipis, sedangkan aku masih bisa meski sedikit gak ada segelas aqua.”

Baginya, proses menerima adalah sebuah perjalanan rasa yang panjang, menjadi kuat dengan penuh semangat adalah usaha yang tiada pernah kita tahu seberapa banyak air mata yang dikeluarkan untuk meminta pada Sang Pemilik Daya untuk dianugerahkan pundak yang kuat dan langkah yang tegap. Kita tak pernah tahu, seberapa hebat orang-orang terdekatnya menghiburnya dengan tanpa air mata yang terlihat.

“Aku juga harus meng-cut mimpi dan cita-citaku, Mbak. Tapi bukan berarti aku diam aja, harus ada mimpi lain yang menggantikan dan usaha untuk mewujudkannya, yang penting terus bersyukur kan ya?”

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka pasti azabku sangatlah pedih.” (QS. 14:7).

Sebelum kami memutuskan untuk mengakhiri pertemuan kami, saya dihampiri pertanyaan, “Aku masih cantik kan Mbak?” Sambil ia tertawa kecil dan menunjukkan foto-foto para CKD Survivor yang secara usia masih muda tetapi terlihat (jauh) lebih tua dari usia yang sebenarnya.

Cerita dalam kehidupan kita adalah sebuah takdir yang bahkan kita sendiri tak mampu menerka pun merabanya. Selagi ada kesempatan, jangan biarkan menyerah pada keadaan atau merutukinya. Untuk bersyukur pun, terkadang kita hanya ingat ketika kita mendefinisikan sesuatu itu sebagai keadaan yang bahagia, khusus ini saya pun sering berada di posisi ini. Semoga bisa semakin berbenah diri dan senantiasa mampu mengambil saripati di setiap kejadian dalam kehidupan kita maupun cerita di sekeliling kita.

Jadi, bahagia itu sederhana ataupun tidak sederhana hanyalah bagaimana kita memandang dan menerima keadaan pada saat kita mendefinisikan bahagia itu sendiri.

Terus semangat dan berkarya, kawan!

Ohya, ingin kenalan dengan sosok yang saya ceritakan? Yuk, nonton video di bawah ini ya 🙂

Kisah Lampu Duduk di Sudut Ruangan

DSC_0004 (1)

Lokasi: Community Coffee Bintaro, Lantai 2

Jam berdentang ratusan kali. Ia, duduk terdiam. Tak peduli orang-orang yang berada di sekelilingnya, meski dalam satu ruangan. Begitu juga orang-orang itu, tak peduli akan kehadirannya walau dalam satu ruang yang sama juga. Mereka terus berbincang, berfoto, membentuk koloni, tertawa kencang, tertunduk di depan gadget atau hanya asyik menikmati hidangan.

Jam berdentang ratusan kali. Ia, masih terlihat. Sama, di tempat itu di pojok ruangan. Ia hanya akan bertukar posisi jika sang pemilik ruang datang dan ingin pemandangan yang berbeda. Namun, tempatnya tetaplah di sudut ruangan. Orang-orang silih berganti dalam ruangan. Tetap saja tak ada yang menyapanya. Jangankan menyapa, menganggapnya ada itu suatu hal yang langka.

Jam berdentang ratusan kali. Ia, masih di sana. Menunggu ada yang menyapanya. Menunggu ada yang memberi salam dan bertanya kabarnya. Menunggu ada seseorang saja yang menyadari kehadirannya. Ia, menyukai saat jelang senja. Saat matahari mulai turun dari singgasana. Jelang senja memberi arti untuknya. Saat jelang senja, ia akan menyala berharap menarik banyak perhatian setiap hiruk pikuk di ruangan.

***

Saya berlama-lama menatapnya, sebuah lampu duduk yang berada di sudut ruangan. Saat saya menikmatinya, saya justru didatangi banyak ingatan tentang curhatan-curhatan atau pun cerita dari beberapa orang yang berkisah tentang terasing, (merasa) diasingkan, dikucilkan, tak dianggap hingga berkurangnya rasa percaya diri. Saya mendapatkan cerita secara langsung, maupun berupa kisah, atau bahkan hanya sebuah celetukan candaan.

Ada masa di mana seseorang atau bahkan saya yang tiba-tiba merasa seperti butiran milo. Suatu saat, ketika air panas datang maka larutlah sudah. Benar-benar ada yang seperti ini. Ada yang (merasa) tak dianggap karena bisa dengan banyak alasan yang ada. Atau dengan menarik diri dengan sengaja karena sikap orang-orang di sekitarnya.

Salah satu dari sekian banyak kesukaan saya adalah saya akan banyak diam di tempat yang benar-benar baru saya kunjungi. Saya diam bukan karena saya sombong tapi saya sedang berpikir dan melakukan pengamatan. Yaah, sambil menutupi sikap norak dan ndeso saya saja sih. 😀

Saya menyadari dan saya pikir ada orang-orang yang merasa bernasib sama dengan kisah lampu duduk di sudut ruangan. Namun, saat itu benar-benar menampar saya ketika saya terlalu jumawa karena sebuah pengakuan. Apa yang sudah saya lakukan? Ah, betapa sebenarnya saya seharusnya malu pada si lampu duduk di sudut ruangan itu. Ia, banyak terabaikan dari pandangan. Ia, banyak terlewat dari perhatian. Namun, ia adalah sebenar-benar penggembira karena terangnya. Yap, bermanfaat!

Seringkali, saya ataupun kita melupakan kehadiran seseorang atau (sedikit) meremehkan seseorang dengan sangat cepat dan mudah. Namun, kita terlupa dan mungkin pandangan kita tertutup bahwa sebenarnya ia yang kita anggap di barisan terakhir itu adalah orang yang paling aktif menebarkan manfaat. Ia bergerak tanpa pujian. Ia berkarya tanpa ingin dianggap ada. Terus menerus tanpa henti dan tanpa rasa penat di hati, pun tanpa menarik diri.

Dalam sebuah diri, dalam sebuah jiwa sudah ada kelebihan yang Tuhan titipkan. Potensi dan kelebihan itu menunggu untuk terus diulang-ulang. Tak perlu sibuk membandingkan diri dengan orang lain. Bukan membandingkan, tapi jadikan orang lain sebagai semangat. Tak perlu menarik diri, tak perlu menenggelamkan diri di dasar lautan kenyataan, tak perlu merasa sedang berada di pojokan karena sungguh setiap diri yang berharga adalah yang paling bermanfaat dengan beragam cara, beragam jalan, dan berbagai rupa. Tak melulu menempuh dengan jalan yang sama. Ya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat.

“Mungkin mereka bulan, tapi ingat kau MATAHARI. Cahaya mereka darimu.” -Tulus-

Jadilah dirimu dengan segudang kelebihanmu. Seperti kisah lampu duduk di sudut ruangan itu yang terus menyala meski tak banyak orang yang memedulikannya. Kita cukup berkarya dan semoga menjadi bagian dari insan yang paling banyak memberi manfaat untuk semesta. Bergembiralah dengan caramu!

 

Inspiring Mom: Di Balik Tangan Dingin JeDar Couture

Don’t judge the book by its cover.

Saya pikir, kata bijak tersebut benar adanya dan semakin menyadarkan saya bahwa segala penilaian harus dimulai dengan berbagai macam pendekatan. Salah satu cara pendekatan yang bisa dilakukan adalah membangun komunikasi yang baik. Itu pun juga banyak jalannya, misalnya dengan ngobrol santai atau bahasa kekiniannya ngobrol cantik.

Nah, bertepatan pada peringatan Hari Kartini pada 21 April lalu, saya berkesempatan ngobrol cantik dengan sosok di balik tangan dingin JeDar Couture. Kesempatan tersebut saya dapat dari event BloggerCrony spesial blogger view bertajuk “Inspiring Mom: Look Great Think Smart”. Panasnya Ibukota benar-benar semakin membakar semangat saya untuk berangkat meskipun akan jadi kali pertama serta harus mencari alamat. Alhamdulillah, bukan alamat palsu.*hahaha*

DSC_0007 (1).jpg*dokumentasi pribadi*

Bicara tentang Inspiring Mom tentu saja tidak akan ada habisnya dan tentu saja memiliki standar ukuran masing-masing. Di kesempatan Kartinian kali ini, saya berkesempatan mengikuti acara ngobrol cantik bersama ibu muda yang dari tangannya terlahir sebuah karya bernama JeDar Couture. JeDar Couture bernaung di bawah PT. Buana Lautan Mas Garmindo yang terletak di pusat belanja sejuta umat ibukota bahkan dari luar ibukota.

JeDar Couture adalah sebuah brand clothing line yang dilahirkan oleh Jessica Iskandar. Iya, Jessica Iskandar yang sering terlihat di layar kaca sebagai public figure. Ibu Muda kelahiran tahun 1988 ini memulai karir di dunia modelling dan sebagai bintang layar lebar “Dealova”. Jessica Iskandar atau yang lebih akrab di sapa JeDar yang membangun personal brandingnya di dunia hiburan sebagai sosok yang terlihat tidak begitu cerdas. Namun, setelah ngobrol cantik di acara Blogger Gathering ternyata di luar dugaan. JeDar selain memang benar-benar cantik, bahkan lebih cantik dari pada saat di layar televisi, ia juga seorang sosok yang cerdas dan kuat.

Ibu muda yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Trisakti memulai melebarkan sayap di dunia bisnis di akhir tahun 2015, yang awalnya dirintis bersama-sama dengan Raffi Ahmad. Tidak hanya ajimumpung karena JeDar adalah seorang artis dan public figure, tetapi JeDar memang memiliki darah seni di bidang desain sesuai dengan jurusan yang pernah diambilnya ketika kuliah. Kemampuannya di bidang desain dan kecermatannya menjemput peluang tidak disia-siakan olehnya. Apalagi JeDar telah memiliki putra yang menjadi pusat segala semangatnya.

DSC_0001 (2).jpg*dokumentasi pribadi*

Menjadi single mom, mompreneur sekaligus public figure bukanlah hal yang mudah. Perlu manajemen waktu yang sangat ketat untuk menjalankan semuanya. Perlu mental kuat dan mental pemenang untuk menggerakkannya, itulah yang dimiliki oleh JeDar. Apa sajakah itu?

  • Pandai mengatur waktu. JeDar menjelaskan bahwa mengatur waktu untuk menjangkau semua rutinitas untuk menjalani hari-hari memang melelahkan. Oleh karena itu, JeDar benar-benar membaginya dengan secermat mungkin, terlebih sudah ada El Barrack yang membutuhkannya. JeDar memanfaatkan waktu senggangnya misal saat di perjalanan sambil menikmati kemacetan, ia manfaatkan untuk membalas chat yang masuk pemesanan JeDar Couture. Weekend adalah waktu yang dimanfaat untuk El Barrack, putranya dan JeDar mulai mengurangi shooting sinetron kejar tayang agar bisa tetap membesarkan JeDar Couture dan lebih banyak meluangkan waktu untuk El.
  • Fokus. Dalam menjalankan bisnisnya, JeDar mengatakan bahwa fokus adalah kunci utama. Salah satunya fokus untuk memilih media marketing. Misalnya, JeDar lebih fokus menggunakan Instagram sebagai campaign untuk mengenalkan brandnya.
  • Bangga dan bersyukur menggunakan brand hasil karya sendiri. Sebagai artis dan pusat perhatian, gaya busana JeDar pun tak lepas dari seribu pasang mata yang melihatnya. Style yang terlihat casual namun tetap elegan banyak melahirkan pertanyaan padanya. Dari sanalah, salah satu alasan JeDar Couture dilahirkan. Agar tidak hanya JeDar yang bangga memakai brand karya sendiri tetapi juga masyarakat luas ikut bangga mengenakan clothing karya anak negeri.
  • Ringan tangan dalam berbagi ilmu. JeDar menyadari bahwa segala pencapaian dan kerja kerasnya bisa tercapai dan dijalani dengan mudah juga karena keberadaan teman-teman dan para fans-nya. Di mana pun, dengan siapa pun, ia pun siap berbagi ilmu tentang bisnis clothing line-nyaKarena dengan berbagi itulah sebenarnya JeDar sedang membangun relasi, begitu ungkapnya.
  • Aktif berperan. JeDar melahirkan JeDar Couture tidak sendirian, ada tim yang hebat yang senantiasa mendukung dan membantunya. Namun, ikut aktif di dalamnya adalah hal yang penting. Bukan tidak percaya, namun ada sebuah bahagia ketika ikut aktif di dalamnya dan JeDar mendesain sendiri JeDar Couture. Menuangkan semua kreatifitas dan imajinasi dalam karyanya secara langsung sehingga brand yang ia miliki benar-benar mencerminkan pemiliknya.
  • Memenuhi Hak Anak. Menajdi ibu muda dengan segudang aktifitas, JeDar tidak lantas melupakan hal El Barrack untuk mendapatkan ASI eksklusif. Inspiring Mom ini juga selalu berupaya agar El Barrack lulus ASI hingga 2 tahun. Kebayang kan gimana tantangan yang harus ditaklukkan?

Yap, itulah sosok tangan dingin dibalik JeDar Couture yang hangat, ceria, dan penuh semangat. Lalu, apa sih JeDar Couture itu?

DSC_0010.jpg*dokumentasi pribadi: Koleksi JeDar Couture*

JeDar Couture adalah sebuah brand fashion yang dirintis oleh Jessica Iskandar. Koleksi JeDar Couture terdiri atas T-shirt, jogger, pants, denim, dress, juga jumpsuit. Nyot Nyot adalah sebuah nama celana denim strict yang ringan dan elegan. Celana Nyot Nyot ini salah satu produk yang paling hits, lhooo. Bahannya lembut dan bagus. Tidak hanya celana, JeDar juga mengeluarkan aneka T-shirt yang bahannya sangat lembut dan menyerap keringat, nyaman dipakai dan cocok dikenakan di negara tropis seperti Indonesia yang mendapat cahaya matahari terus-menerus. Modelnya juga kekinian, bisa dipakai oleh kalangan remaja, wanita dewasa, bahkan ibu-ibu sekalipun tetapi tetap up to date dan memancarkan semangat jiwa muda.

Harga JeDar Couture antara Rp 149.000 hingga Rp 700.000. Ada harga ada rupa ya :D. Tenang, kualitas dijamin bahkan JeDar yang memilih, menentukan, dan mengawasinya secara langsung. Di waktu-waktu tertentu juga tersedia diskon yang menggoda iman, jadi sering-seringlah stalking ke instagramnya @jedar_superbintangid.

Produk brand JeDar Couture juga mudah didapatkan kok, bisa pemesanan langsung via LINE, Instagram, blibli.com, Lazada, dan Zalora. Bisa juga didapatkan di offline market, yaitu di Ramayana dan Lotus.

Bulan ini rasa-rasanya saya sedang dididik oleh Tuhan lewat beragam cara dengan beragam hikmah tentang hidup. Salah satunya yang dikatakan JeDar adalah jangan pernah merasa lelah, terus berjuang memberikan yang terbaik karena kebaikan yang kita lakukan tidak hanya untuk kita melainkan untuk orang lain. Selain itu, saya juga belajar tentang penilaian bahwa jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan dalam menilai seseorang. Semoga semangat JeDar sebagai seorang ibu dan mompreneur menjadi inspirasi bagi perempuan Indonesia untuk tidak mudah menyerah dan terus semangat menciptakan kebaikan-kebaikan. ^^

FB_IMG_1461240685907
*sumber foto: kiriman*

Screenshot_2016-05-04-22-28-13.png
*sumber: Instagram @jedar_superbintangid*

 

Mana Yang Lebih Berat, Naik Gunung Atau Naik Pelaminan?

MP : “Aku mau naik gunung.”
S     : “Nggak ngajak aku? Gunung mana?”
MP : “Belum tau, emang mau?”
S     : “Hmm, jangankan naik gunung, diajak naik pelaminan aja aku mau.”

Yah, itu adalah sepenggal percakapan saya dan Mas Partner sekitar akhir Juli atau awal Agustus 2015. Saat itu belum ada rencana gunung mana yang akan didaki. Masih sebatas wacana yang seringnya take it easy. 😀

Agustus menjadi bulan di mana saya nostalgia tentang momen bersejarah, momen peralihan status dari lajang menjadi istri orang, momen serah terima tanggung jawab dunia akhirat dari ayah kepada lelaki langit pilihan Allah. Sebenarnya, saya dan Mas Partner bukan tipe yang harus ada ritual apalah-apalah. Namun, Agustus 2014 di tahun pertama kami menghabiskannya dengan menginap di pantai demi memburu milky way, apalah daya, perhitungan kami meleset. Agustus 2015, di tahun kedua akhirnya terealisasi dengan nuansa gunung. Ya, naik gunung. Gunung Ungaran.

Gunung Ungaran terletak di kabupaten Semarang, daerah Ambarawa dengan ketinggian 2.050 mdpl. Tidak terlalu tinggi bagi yang sudah profesional atau terbiasa naik gunung, tapi bagi pemula seperti saya, that is unspoken, guys! Saat itu, jalur yang kami lewati dari pos mawar, letaknya di atas umbul sidomukti. Bagi yang berminat naik gunung Ungaran, bisa dicek untu jalur pendakiannya di sini, karena ada beberapa jalur pendakian.

Persiapan 

Masa persiapan ini bagi saya bisa dikategorikan sangat singkat. Bukan hanya mempersiapkan peralatan-peralatan dan bahan makanan untuk bertahan, tetapi juga mempersiapkan fisik dengan olahraga dan persiapan mental, lebih persiapan etika saat naik gunung. Yaaa, semacam memantaskan diri untuk bisa menuju puncak, meski realitanya tidak bisa sampai puncak karena kebakaran.

Masa persiapan ini penting, seperti halnya mempersiapkan peralatan yang akan dibawa. Bagi pendaki yang rutin naik gunung, memiliki tenda, kompor, matras, sleeping bag dkk adalah hal wajib. Nah, karena Mas Partner suka naik gunung tapi tidak rutin jadilah untuk tenda kami harus searching di dunia maya outlet yang menyewakan tenda dom. Alhamdulillah, sleeping bag, matras, carrier sudah siap tinggal bongkar lemari. 😀

Persiapan lainnya, yaitu persiapan fisik dengan olahraga. Jogging hampir tiap hari, push up, sit up, dan bersepeda. Paling sering sih jogging. Lanjut dengan persiapan mental. Saya memaknai persiapan mental ini lebih kepada persiapan untuk mentadabburi ciptaan Allah, mensyukuri kehadiran alam yang indah, menjaganya dengan tidak membuang sampah sembarangan atau pura-pura lupa dengan sampah yang ditinggal begitu saja, lebih jauh lagi memaknai perjalanan naik gunung itu sendiri.

Naik-Naik Ke Puncak Gunung

Well, setelah semua persiapan mencapai 100%, ayoooo angkat carrier! Ternyata oh ternyata, naik gunung itu tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Saat berangkat, medannya tentu saja menanjak. It has made me hard to breath. It really has. Saat itu pun punggung saya tidak terbebani dengan barang bawaan, semua barang-barang dalam carrier ada di punggung Mas Partner, ia yang mengambil alih. Sudah pasti jauh lebih berat daripada saya, but he always make sure that everything will be fine for me, for us. Jalan yang ditapaki pun tak selalu mulus, nggak ada jalan aspal ya 😀 ada bagian yang berbatu, berpasir, berdebu, berselimut daun-daun yang gugur, dan ada yang sedikit terjal. Ada kalanya sampai di titik di mana disuguhi pemandangan yang memanjakan dan ada kalanya ada pemandangan yang menyuguhkan sedikit rasa takut dengan pohon-pohon yang rimbun, semak, rumput-rumput yang tinggi atau bahkan suara-suara khas rimba.

Saat telah sampai di tempat camping, ada semacam pembagian tugas meski tidak terang-terangan ‘ini tugasmu dan ini tugasku’ melainkan sudah paham dengan tugas masing-masing. We are a solid team. 

IMG_5107 (FILEminimizer)*dokumentasi pribadi

Tidur dalam tenda di alam terbuka, walaupun sudah ada sleeping bag tapi kerasnya tanah yang kena punggung juga gak bisa menipu. Jelas beda empuknya kasur di rumah dengan saat camping. Di sisi lain, inilah kehidupan, ada masa perlu mencoba hal-hal luar biasa untuk berbagi rasa. Menjemput makna dan memaknai setiap detik yang ada.

Bagi saya, hal yang paling susah adalah keberadaan kamar mandi. Pagi hari saat matahari mulai naik dan usai sarapan, untuk bertemu kamar mandi harus berjalan selama 1,5 jam dengan kecepatan ala saya hingga desa terdekat. Itu rasanya luar biasa. Teringat sore sehari sebelumnya, Mas Partner dan satu sahabat perjalanan kami harus menempuh jarak yang jauh untuk bisa mendapatkan air.

Perjalanan Pulang

Jika saat berangkat, medan yang dilalui menanjak maka saat turun jalan yang dilalui adalah tapak-tapak menurun. Terlihat mudah tapi juga tidak kalah berat. Berat menahan beban badan. Benar-benar harus ekstra sabar. Ditambah dengan debu yang makin beterbangan tanpa bisa dikendalikan serta terik yang lumayan. Semuanya tetap menyenangkan hingga sampai pos terakhir.

Proses perjalanan pulang, bukan hanya membawa barang-barang yang dibawa saat naik, namun juga saya, Mas Partner, dan dua sahabat saya juga membawa sampah yang ditinggalkan di sekitar area camping. Bahkan beberapa papan petunjuk dan pohon tumbang dengan posisi melintang juga menjadi korban tangan-tangan jahil. Di sini, kita diuji agar bisa menahan diri agar tidak merusak tetapi kita diberi tantangan untuk menahan diri dan sekuat tekad untuk menjaga dan merawat alam kita.

Tentang Naik Pelaminan

Memang terlihat berbeda sekali antara naik gunung dan naik pelaminan. Naik pelaminan itu mudah bagi tamu undangan, bagi pengantin perempuan agak susah-susah gampang jika memakai jarik :D. Eits, bukan naik pelaminan yang itu yang saya maksud. Naik pelaminan secara semiotik yang saya pikirkan. Naik pelaminan bagi dua insan yang memutuskan untuk menggenap separuh agama bagi saya adalah sebuah keputusan yang besar. Ada masa persiapan untuk sebuah tujuan memantaskan diri atas tanggung jawab yang akan dijalani. Banyak bekal yang harus dipersiapkan yang itu tak hanya soal materi.

Pernikahan yang tidak hanya antara 2 anak manusia, tetapi tentang menyatukan dan mengkeluargakan dua keluarga besar yang (mungkin) memiliki latar belakang yang (sangat) berbeda. Ada tanggung jawab, kewajiban, hak, dan tugas. Memahami bahwa rumah tangga adalah sebuah tim, harus bisa membangun kerjasama atau hal-hal yang besar lain.

Pernikahan juga merupakan proses saling memahami karakter pasangan. Jika saya, saya dihadapkan dengan seorang yang iriiiiiiit sekali bicara, romantis dengan kata-kata pun bisa dihitung tapi memiliki cara untuk romantis yang seringnya saya lewatkan. Lama-lama pun saya menyadari memang begitu cara Mas Partner beromantis. I love you just the way you are, Mas Partner. 😀

IMG_5124 (FILEminimizer)*dokumentasi pribadi dengan caption “Point of View in Life”

Dalam sebuah obrolan, teman saya pernah bilang bahwa jika ingin mengetahui karakter orang apalagi orang yang mau hidup dengan kita, ajaklah naik gunung. Dia akan banyak mengeluh, diam, optimis atau akan bagaimana reaksinya. Jika saat naik gunung saja dia banyak mengeluh, bagaimana saat (setelah) naik pelaminan dan melanjutkan menjalani hidup bersama? Ya, masuk logika pernyataan teman saya itu. *haha.

Pesan saya sih, jangan takut naik pelaminan. Niat baik akan menemukan jalannya dan akan lebih banyak lagi pintu-pintu kemudahan yang terbuka lebar-lebar.

Nah, setiap pertanyaan butuh jawaban: mana yang lebih berat, naik gunung atau naik pelaminan?

 

 

Pandangan #2: Memandang Rumput Tetangga

Hal sawang-sinawang atau yang biasa dikenal dengan pandang-memandang ini seakan terlihat sangat remeh, tetapi tidak bisa dipungkiri hal yang remeh ini sering mengikis dan mendatangkan ujian bagi hati. Di mana hati akan diuji untuk melihat ‘ke atas’ atau melirik hal-hal yang menawarkan kenikmatan, kemudian akan datang bisikan-bisikan yang membandingkan antara keadaan diri dan kenikmatan yang hadir dalam pandangan yang (mungkin) sekejap.

Ada yang terlihat bahagia menikmati jalan-jalan ke luar negeri dengan senyum-senyum sumringah di setiap jepretan kamera. Namun, siapa yang tahu di balik senyum sumringah itu ada usaha yang berdarah-darah untuk mewujudkan sebuah perjalanan ke luar negeri. Ada yang mengunggah foto anak-anak yang lucu dan menggemaskan yang jika dipandang mengundang rasa iri atau rasa ingin memiliki, tapi siapa yang tahu, di balik senyum lucu dan manis bayi-bayi itu ada perjuangan berat para ibu, sedangkan penikmat foto bayi-bayi itu hanya tahu senyum yang terukir di wajah ceria sang bayi. Ada yang memiliki pekerjaan bagus dan mentereng, bisa memiliki apa yang diinginkan dengan gaji yang diterima tiap bulan. Di sisi lain, siapa yang tahu bahwa mereka dibebani pekerjaan yang banyak, kurang porsi tidur bahkan berkurang untuk quality time dengan orang-orang tercinta. Ada seorang single yang memandang bahwa pasangan yang menikah itu selalu bahagia karena ada partner untuk berbagi ketika foto-foto perjalanan berdua terunggah di akun-akun media sosial. Ya, itu hanya sekelumit kisah tentang memandang.

Dunia ini dipenuhi dengan tipu daya yang juga ditimpali dengan debu-debu halus yang berterbangan di mana-mana. Oleh karena itu, jika tak punya alat bantu untuk penglihatan, tidak ada yang menjamin jika nantinya akan tersesat atau terperangkap. Maka agar bisa terhindar dari itu, dibutuhkan pelindung mata agar bisa tetap melihat, berhati-hati dalam melangkah dan menghindari jebakan.

Alat bantu itu bukan sekedar kacamata biasa, kacamata biasa pun ketika ada goresan-goresan di lensa, maka lensa pun perlu diganti, perlu di-upgrade. Begitu juga alat bantu untuk memandang hal-hal yang bersifat filosofis dalam hidup. Alat bantu itu adalah iman, ilmu dan amal. Ibnul Jauzi berkata, “Aku merenungi dunia dan akhirat. Aku menyadari bahwa peristiwa-peristiwa yang menyangkut dunia sungguh nyata dan alami, sedangkan peristiwa akhirat hanya dapat dilihat dengan kacamata iman dan keyakinan. Yang nyata lebih kuat daya tariknya bagi mereka yang lemah iman.”

Peristiwa-peristiwa yang menipu pandangan akan selalu ada dengan berbagai penyebabnya. Bisa karena pergaulan, melihat hal-hal yang menarik hati yang menderung membawa pada kecintaan duniawi. Lalu bagaimana? Menyediakan sedikit waktu untuk berdzikir, merenung, berpikir, serta menambah porsi ilmu dan pengetahuan tentang agama, karena merenung dan tafakur akan menghindarkan dari pikiran-pikiran negatif sedangkan ilmu, pengetahuan yang selalu ditadabburi adalah obat yang sangat menenangkan.

Jadi, tidak hanya ponsel pintar saja yang di-upgrade tetapi alat bantu memandang yang kita miliki juga perlu diperbaiki agar dengan alat bantu yang jernih bisa membantu kita mengarungi hingar-bingar dunia serta mata yang tertutupi oleh debu-debu yang akan menyulitkan setiap langkah yang akan kita ambil dan jalani.

 

nb: related post

Sawang Sinawang Dalam Hidup

Sebelum menulis lebih lanjut, saya ucapkan alhamdulillah karena koneksi internet yang membaik 😀

Saya yang dilahirkan dan tumbuh di Jawa (bukan sara ya…) tentu sudah sangat lama mendengar ungkapan “sawang sinawang”. Ya ya, “sawang sinawang” yang dalam Bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai “lihat melihat” atau “saling melihat”. Aktifitas melihat yang sering kali melenakan pandangan bahkan mungkin akan timbul rasa-rasa iri, sedih, cemburu bahkan memudarkan rasa syukur. Mungkin lho ya, silakan merenung beberapa saat.
Aktifitas sawang sinawang ini biasanya akan melihat pemandangan-pemandangan yang serba membahagiakan dari kehidupan orang lain, teman atau orang-orang di sekitar kita lalu kita akan membandingkannya dengan keadaan kehidupan yang kita punya. Kita akan sering melihat sisi-sisi bahagia dari orang lain tanpa kita berpikir sedikit panjang tentang proses yang dijalani orang lain hingga hasil yang dicapainya sampai pada pandangan kita begitu membahagiakan. Terasa manusiawi dan wajar.

Sama halnya ketika saya memandang teman-teman saya yang dengan suka cita menyambut malam minggu dengan pacar/suaminya. Menikmati malam, lalu tiba-tiba Jogja berubah menjadi semakin spesial (haha.. :D), menikmati makan malam di angkringan, jalan-jalan di malioboro, atau hanya sekedar duduk santai menikmati secangkir kopi di pinggiran kali code. Bahagia rasanya. Lalu saya akan membandingkan dengan diri saya yang ‘pacaran’ dengan HP itu pun jika HP saya bunyi atau sengaja saya pancing agar berbunyi :D. Saya yang hanya mampu menggandeng buku dan akan nongkrong saja di kamar atau perpustakaan kota. Atau saya akan pergi ke toko buku dan pulang dengan kirim sms “aku mboyong buku lagi”. Contoh lain, saat menghadiri kondangan, semua teman-teman akan datang bersama pacar, tunangan atau suami/istri dan saya sangat bersyukur tidak datang sendirian tetapi ada teman atau barengan. Dalam kondisi seperti itu saya sangat bersyukur meski tak jarang kondangan sendiri. Mungkin ada orang yang kasihan sama saya, tapi saya baik-baik saja. *sambil nahan 😀

Saya pernah seperti itu. Jujur. Pernah. Tetapi setelah saya pikir-pikir, kenapa saya harus iri dengan orang lain? Tanya kenapa? Saya mensyukuri, saya memiliki partner hidup yang luar biasa oke bagi saya. Saya masih bisa mengantongi ijin untuk melanjutkan belajar di bidang yang saya sukai dan melanjutkan menyelesaikan kewajiban saya tahun ini. Saya diberi kesempatan menyelesaikan belajar Bahasa Jerman yang dari tahun 2009 belum kunjung usai, insyaAllah tahun ini selesai. Saya masih diberi kepercayaan untuk belajar Bahasa Belanda dan mendapat fasilitas “private”. Saya diberi kebebasan bekerja di bidang yang saya sukai yang tak jauh-jauh dari bahasa dan menulis sebagai English Content Writer yang tak harus duduk di kantor, cukup setor wajah ke kantor sekali dalam seminggu. Saya masih bisa merasakan pergi berkegiatan tatap muka, reuni, dan sejenisnya dengan teman-teman saya. Saya masih bisa berkumpul dengan teman-teman komunitas fotografi di nol kilometer. Saya (berusaha) bahagia dan mensyukurinya. Menikmati ritme-ritmenya. Mendalami syahdu merdu alunan yang biasa disebut rindu. (Cieeee…. :D) Karena dengan ini semua setiap sudut kota Jogja benar-benar menyimpan cinta saya termasuk stasiun dan bandara. Menjalani dan memandang semua yang terjadi dalam hidup kita dari ‘kutub’ positif. Itu akan jauh lebih baik 🙂

Karena tidak ada kesulitan yang ‘dititipkan’ pada kita jauh melebihi batas kemampuan kita sebagai hamba-Nya. Tidak, Allah tidak akan memberikan ‘ujian’ di luar kemampuan hamba-Nya. Ketika kita ‘diuji’ pun Allah menguatkan pundak kita dan berjanji dalam firman-Nya “Bersama kesulitan ada kemudahan” yang diulang dua kali. Masihkah kita meragukannya? Kalau saya, saya amat yakin. 🙂

Wajar dan boleh kita memandang bahagia orang lain tetapi jangan samapi membuat kita lalai, merutuk, cemburu, iri, apalagi jika sampai memudarkan rasa syukur. Melihat bahagia orang lain, kesuksesan orang lain sebagai semangat untuk terus berlomba-lomba pada kebaikan itulah yang dianjurkan agar kita tetap ingat pada setiap nikmat yang dianugerahkan pada kita. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? ^^
#Ntms

Perpustakaan Pusat Kampus, disela-sela terjemahan, lembar-lembar ms. Word, dan A Glossary of Literary Terms.