Bahasa Arab: Identitas(ku)

Take 1

Di ruang tamu pondokan KKN, Nabin. Ceritanya ada dua orang teman yang mengunjungi kami di pondokan. Keduanya berjilbab lebar menyapa saya.

Wiwid: Assalaamu’alaikum Ukhti Nika  *diiringi dengan senyum paling manis

Saya: Wa’alaikumsalam Wiwid. Eh, ada Lulu, juga *nggak kalah mengiringinya dengan senyum termanis 😀

Wiwid: Ukh, lagi ngapain? sibuk banget

Saya: ah, nggak kok.

Lalu keluarlah sahabat saya, sebut saja namanya Erlin. Secara penampilan bukan seorang yang berjilbab besar, tapi dia berjilbab. Cantik dengan style-nya.

Erlin: hai Wiwid, hai Lulu. Hei Niko, kenapa yang dipanggil dengan sebutan ukhti hanya kamu? Memangnya aku nggak masuk kriteria dipanggil ukhti ya?

Saya: hei Ukhti Erlin *sambil buru-buru masuk ambil buku catatan

***

Take 2

Dulu saat aktif-aktifnya ikut kegiatan kampus dan rajin ikut rapat. Biasanya disebut dengan syuro.

Senior: ayo-ayo segera dimulai syuro-nya!

Saya: Kak, si A belum datang.

Senior: Dia kan bukan akhwat.

Padahal teman saya ini adalah perempuan tunggal. Barulah saya mengerti seiring berjalannya waktu.

***

Take 3

Suatu hari saat saya baru saja log-in di salah satu akun media sosial saya, saya mendapati di beranda ada sebuah catatan yang dibuat oleh seorang wanita yang sebentar lagi akan menjadi ibu. Saya baca catatan itu berharap mendapatkan ilmu. Ohya, semoga sang (calon) ibu dan (calon0 anaknya selalu sehat.

Disana saya melihat banyak komentar yang berdatangan dan dibalas dengan ucapan “jazakillahu khairan katsiron, ammah” atau “jazakumullah atas doanya, ammah, ammi” tetapi ada yang menarik perhatian saya ketika ada seorang teman perempuannya yang berkomentar (entah di kolom komentar yang ke berapa) mengucapkan selamat dan mendoakannya lalu dibalas dengan ucapan “terimakasih, tante I”, begitu jawabnya. Karena mendapati ada yang berbeda maka saya kepo deh pada teman-teman yang mendapat ucapan Ammah atau Ammi dengan yang mendapat ucapan Tante atau Om. Ternyata si pemberi ucapan datang dari ‘kalangan’ yang berbeda. saat itu saya langsung ambil buku catatan.

***

Take 4

Seorang cewek duduk di serambi sebuah Masjid Kampus disapa oleh seorang mbak-mbak berjilbab besar yang pada akhirnya saya tahu disebut sebagai ‘akhwat’.
A: bisakah anaa duduk di samping anti?
C: bisa, silakan.
*sambil sedikit bergeser
A: Jazaa
C: *mlongo, muka bodoh

Sebenarnya kata jazaa, jika biasanya ‘terimakasih’ diucapakan dengan kata jazakumullah/jazakillah/jazakallah, maka otak saya ini masih bisa menerima maksud penutur bahwa ia mengucapakan terimakasih yang diselipkan dalam sebuah doa akan tetapi jika itu hanya diucapkan ‘jazaa’ maka otak saya menerima ucapan itu yang berarti ‘membalas/balasan’. Dalam benak saya ketika ada yang mengucapkan jazaa, saya pun bertanya ‘nih orang bilang ‘membalas’ untuk apa? untuk siapa?’ Lalu, apakah susah menyebutkan dalam bentuk sempurna jazakallah/jazakillah/jazakumullah ahsanal jazaa atau mungkin cukup jazakallah/jazakillah/jazakumullah dan tolong jangan didiskon lagi.

***

lalu masih banyak lagi kejadian-kejadian ajaib yang saya abadikan

***

Saya teringat saat masa-masa awal kuliah tentang kebudayaan yang di sana membahas tujuh unsur kebudayaan. salah satunya adalah bahasa. Bahwa bahasa bersifat dinamis, ‘bergerak’, dan mengikuti perkembangan. Selain itu memang eksistensi bahasa sebagai alat komunikasi yang saling bisa dipahami oleh kedua belah pihak. Bukankah seperti itu?

Tidak hanya berlaku dalam bahasa Indonesia saja, semua bahasa tanpa pengecualian termasuk bahasa Arab. Bahasa seharusnya bisa dimengerti oleh semua kalangan bukan terbatas pada yang datang dari ‘kalangan’ atau ‘komunitas’ kita. Justru yang terjadi sekarang adalah munculnya campur bahasa dalam seni berkomunikasi terutama penggunaan istilah bahasa Arab.

Menurut sebuah thesis yang saya baca tentang terminologi bahasa Arab pada istilah ikhwan dan akhwat memang telah menyempit. Objek penelitiannya adalah dari salah satu partai islam cabang Jogjakarta. Sebuah gelar yang disematkan pada mereka yang datang dari ‘kalangan’ yang sama.

Sapaan Ukhti dan Akhi juga berlaku pada mereka yang satu ‘kalangan’ padahal dalam bahasa Arab semua orang berhak mendapat sebutan Akhi dan Ukhti tanpa memandang dari ‘kalangan’ mana ia datang. Ya, saya sering gerah, telinga merah (untung nggak kelihatan) jika mendapati semua kejadian-kejadian ajaib itu dan saya bertekad untuk anti-mainstream, memperlakukan semua sama. Semua berhak mendapat panggilan Akhi, Ukhti, Ammi, Ammah dst.

Katanya, cinta adalah wujud kata kerja. harus diusahakan. harus diupayakan. Kalau memang mengaku cinta bahasa Arab, ya upayakan untuk mempelajarinya, memahami, dan menelaahnya. Jangan sepotong-potong. Jika memang bahasa arab hanya menjadi identitas sebuah ‘kalangan’ kasihan kan dengan mereka yang ingin disapa dengan istilah-istilah bahasa Arab. Tidak perlu ngarab agar terlihat islami. Kata seorang teman, “Islam tidak sama dengan Arab. Arab tidak sama dengan Islam. Kalau Islam sama dengan Arab, mending saya berbangsa Islam daripada berbangsa Arab.

Ya, bahasa Arab: identitasku, bahasa apa identitasmu? Semoga bisa sama ya ^^