Satu Jam Untuk Para “Juara”

10694467_719889551426368_8331579788467396766_o

Actually, it is my mood booster!  🙂

Hari itu, Rabu (29-10-2014) saya memulainya dengan harap-harap cemas semoga hari ini bisa bermanfaat dan benar-benar bisa berbagi senyum ceria. Pola tidur yang berbeda, membuat saya pada hari itu baru tertidur pukul 02.00 demi untuk memastikan semua persiapan sudah dalam keadaan sempurna. Bismillah, it will be ok!

Selama ini, saya memiliki mental block yang parahnya saya yakini kebenaran bahwa saya susah sekali dekat dengan anak-anak dan saya tidak bisa mengajar di depan mereka. Well done, keyakinan itu saya bawa hingga akhirnya, kemarin, runtuhlah mental block yang saya yakini itu. *senyum lega 🙂

Berawal dengan modal nekat dan tekat, saya mendaftar sebagai guru tamu di sebuah agenda yang diadakan oleh Rumah Zakat bertajuk Pekan Berbagi Senyum yang dilaksanakan serempak di 30 kota di Indonesia (25-31 Oktober). Saya ingat bahwa pelamar diutamakan dari latar pendidikan guru atau berprofesi sebagai guru. Lha saya? Saya tidak ada pengalaman sama sekali untuk berhadapan dan berbicara di depan anak-anak. Alhamdulillah, saya mendapat surel dari Rumah Zakat bahwa saya menjadi salah 1 relawan di Pekan Berbagi Senyum dan mendapat tempat di SD Juara Yogyakarta bersama-sama siswa kelas 6. Allah memberi kesempatan dan jalan untuk saya belajar, awalnya, karena selanjutnya saya menemukan “harta karun” kehidupan yang luar biasa tanpa saya duga-duga yang selama ini hanya ada dalam pikiran dan mimpi-mimpi saya.

Rabu, 29 Oktober 2014, pertama kali saya memasuki gerbang SD Juara benar-benar membuat saya iri dengan cara mereka belajar. Para siswa belajar tidak hanya di kelas, ada yang di masjid samping sekolah mereka yang masih jadi satu dengan halaman sekolah dan ada yang di perpustakaan yang berada di lantai 2. Di kelas, mereka melepas alas kaki, sepatu-sepatu berjajar rapi di rak depan kelas mereka. Ketika istirahat, Sekolah Juara ini memanjakan para siswanya dengan lagu-lagu anak dan kemarin yang diputar adalah lagu dari Tasya.

Belajar rasa bermain

Sebelum saya benar-benar menjadi guru, saya disambut dengan sangat ramah oleh para guru dan kepala sekolah SD Juara, Bu Budi. Obrolan perkenalan dan menikmati snack bersama. Akhirnya, datanglah saat-saat berharga ketika saya mendapat kesempatan belajar rasa bermain karena memang bukan belajar yang sampai memandang buku pelajaran, akan tetapi kami bersenang-senang dengan bahasa. Kami hanya bermain, bersenang-senang akan tetapi kami juga belajar.

Anak-anak yang ramah, cukup ramai, akan tetapi sangat menghargai keberadaan “orang baru” dalam kelas mereka. Kami bermain puzzle kata dalam group. Mereka sangat antusias. Dan saya, benar-benar bisa menikmati dan rasa grogi 😀

Juara: kemenangan dan tantangan

Setelah puas bermain di kelas, saya kembali ke ruangan ibu kepala sekolah, ruangan yang sangat sederhana untuk seorang kepala sekolah. Saya, Pak Didik (seingat saya nama beliau karena lupa belum kenalan…hehe) selaku penanggung jawab dari RZ Jogja dan Bu Budi, selaku kepala sekolah Juara,  bertukar perasaan di ruangan itu. Saya ungkapkan, bahwa saya merasa nyaman saat pertama kali memasuki gerbang sekolah ini. saya pun menambahkan, bahwa konsep sekolah seperti ini yang saya inginkan, sekolah yang konsepnya sangatlah berbeda saat saya menempuh pendidikan jaman dulu.

Senyuman, itulah pertama kali tanggapan yang saya dapat. Kenyataannya, jauh dari perkiraan saya tentang sekolah ini. Awalnya, ketika saya lihat anak-anak belajar di masjid saya berpikir itu adalah bagian dari program akan tetapi itu terjadi karena keadaan. Kondisi yang kurang memadai untuk jumlah ruang kelas. Ya, belajar di manapun, tak hanya di kelas tetapi tetap terus belajar, tidak menyerah pada keadaan tetapi benar-benar menjawab tantangan untuk menang.

Latar belakang para siswa pun di luar dugaan saya, bahwa mereka datang dari keluarga yang cukup bahkan kurang dalam hal finansial, akan tetapi prestasi mereka tak kalah dengan mereka yang difasilitasi super wah dalam belajar. Ada dari mereka yang “datang dan pergi” karena alasan finansial keluarga, maksudnya, mereka harus bekerja, turun ke jalan untuk memenuhi kebutuhan dan membantu orangtua mereka. Ada yang mendapat dukungan orang tuanya, ada yang tidak mendapat dukungan orang tua. Ada yang dibebaskan untuk tidak ikut bekerja, hanya fokus untuk belajar dan ada yang tiap pulang sekolah harus bekerja. Ada juga, yang sama sekali tidak diijinkan belajar karena mempengaruhi pendapatan keluarga jika mereka belajar di sekolah dan membantu orangtuanya. Ya itulah tantangan. Karena tak ada kemenangan tanpa tantangan.

Sekolah Juara ini, mencoba untuk “memanusiakan”. Segala sesuatu tidak hanya diukur dari dari potensi akademik akan tetapi ada ruang ketika mereka mengekspresikan prestasi mereka di luar kemampuan kognitif, melalui seni (batik, lukis, tarik suara, dkk) serta ada waktu di mana satu hari untuk mereka yang memiliki jiwa bisnis “entrepeneur day”.

Sampai di sini, betapa saya benar-benar bersyukur mendapatkan kesempatan luar biasa ini. Bersyukur bahwa saya mendapati kemudahan-kemudahan berupa fasilitas, kesempatan, dan tempat belajar yang nyaman. Bersyukur, bahwa ini pengingat bagi tujuan saya untuk apa saya belajar, mau dibawa kemana biduk keilmuan saya, lalu apa yang akan saya lakukan untuk membersamai mereka menjawab tantangan menuju garis kemenangan?

Satu demi satu, mimpi dan pertanyaan saya terjawab dengan indah, dengan jalan yang indah. Cinta yang dididik dengan jarak ini bukan sesuatu yang mudah tetapi inilah cara Tuhan mendidik saya, mendidik life-partner saya bahwa pernikahan ini bukan sekedar kami berdua akan tetapi bagaimana kami berbagi, bagaimana kami bermanfaat untuk umat, bagaimana menjadi pribadi yang tangguh, mandiri dan kreatif. Semoga ini adalah rasa sakinah yang hadir dalam bentang jarak. You treat me well, very well. Berkarya bukan sekedar bekerja! 🙂

 

 

One thought on “Satu Jam Untuk Para “Juara”

  1. Pingback: The Essential of Life: K I N G #2 | Ruang Cindi

Leave a comment